Wednesday, April 23, 2008

Belajar dari Orang Gila

Sudah lama saya tidak memanjakan diri saya di pemijatan refleksi yang tidak jauh dari rumah. Jika dilihat dari segi harga dan pelayanannya, cukup memuaskan. Dengan cukup membayar Rp 40.000,- saja kita bisa merasakan pijatan seluruh badan selama 90 menit. Tapi hari ini tidak seperti biasanya, saya mendapatkan antrian nomor 9. Sepertinya ada sebuah keluarga besar yang telah lama antri sebelum saya. Saya pun memutuskan untuk menunggu diluar, kebetulan persis di depan pemijatan refleksi itu, berdiri sebuah Mall yang cukup angkuh.

Di sebelah kanan pemijatan refleksi itu ada sebuah warung angkringan yang dipenuhi oleh beberapa karyawan yang bekerja di tempat pemijatan refleksi itu. Saya pun bergegas ikut dalam perkumpulan itu. Dengan memesan sebungkus nasi tempe-ikan teri ditambah es teh manis, saya bisa membaur cepat dengan mereka plus dibumbui dengan sedikit bahasa Jawa.

Tak lama situasi mendadak berubah menjadi riuh, beberapa orang yang ikut makan di warung itu memalingkan semua wajahnya ke arah kanan tak terkecuali Mas Hamdan, penjual warung angkringan itu. Terdengar suara jijik dari mulut seorang perempuan yang melintas tepat berjalan kaki di belakang warung tempat saya makan (sampai saat ini pun saya masih mengingat kata-kata yang ia ucapkan ).

Ternyata pemandangan yang mampu mengalihkan semua pandangan mata dan memicu setiap perkataan dari orang yang melihatnya itu adalah ORANG GILA. Ya, ada orang gila bugil yang tak sengaja melintas ditrotoar jalan tak jauh dari tempat saya makan. Ada yang merasa jijik, ada yang menutup mata, ada yang cuek, ada yang merasa takut diganggu, sebagian ada yang merasa kasihan, bahkan ada juga yang menganggapnya sebagai objek tertawaan. Saya yang melihat pemandangan itu langsung berkata dalam hati, “ Mau kemana orang gila ini? Seandainya ia diijinkan untuk bicara, kata apa yang pertama akan dia katakan? “.

Sepanjang jalan orang gila itu masih saja menjadi perhatian orang disekitar, apalagi saat itu ia sempat berhenti untuk mencabuti beberapa tanaman kota yang tumbuh di sekitar trotoar jalan. Begitu menyita perhatian untuk waktu yang lama. Mungkin bagi yang merasa takut, ada perasaan gemetar dalam hatinya dan segera membuat jarak sejauh mungkin dengan orang gila itu. Bagi yang merasa iba, ada perasaan ingin menolong dihati mereka, walaupun mereka masih mengumpulkan keberanian untuk melakukannya.

Bisa dikatakan, orang gila itu menjadi “objek wisata” sesaat. Benar-benar memiliki stopping power yang kuat. Lantas bagaimana kaitannya dengan iklan? Seorang teman lama yang saya ceritakan tentang hal ini langsung nyeletuk, “ Jadi iklannya harus kita tempel di orang gilanya gitu, biar dilihat orang? Gile lu! Bisa-bisa kita dibunuh klien nanti, brand image-nya bakal jeleklah “. Mendengar kata-kata teman saya itu, saya jadi merasa rindu padanya, seorang Art Director dari biro iklan lokal di Jakarta yang sering saya ajak ke warung tempe telur Arto Moro Cak Ojie langganan saya jika ia berlibur di Yogya.

Produk kita tak perlu menjadi orang gila, tak perlu juga menempel poster di orang gila itu, atau bahkan ide gilanya lagi, kita suruh orang gila itu untuk menyebar flyer kita  . Dari orang gila ini, saya mendapat banyak pelajaran. Feel (perasaan) dan Touch (sentuhan). Saya tidak sedang meramu formula membuat iklan yang baik, karena saya yakin iklan yang baik itu luas sekali cakupannya, lagipula bukanlah porsi saya untuk membicarakan hal itu karena saya bukan orang iklan.

Ada apa dengan feel dan touch? Sejujurnya ketika saya melihat orang gila itu saya merasakan ada sesuatu yang menyentuh hati saya. Sesuatu yang membuat saya selalu ingin tergerak dan mengingat perasaan itu lagi ketika saya melihat orang gila dilain tempat. Suka atau tidak suka-nya saya akan hal itu, hati saya tetap saja tersentuh.
Kalaulah orang gila itu sebuah iklan, mungkin saya langsung mengatakan pada Anda “ how do you feel? “ dan kemudian “ you wanna touch it? “. Dua hal itu tak pelak seperti saudara kembar yang tak terpisahkan. Hal itulah yang mungkin bisa kita bentuk untuk iklan. Dengan mengambil ilmu dari orang gila tadi, kita mampu merasakan iklannya dan berusaha untuk menyentuhnya. Lepas dari iklan tersebut mempunyai stopping power yang cukup kuat seperti orang gila tadi, pastilah akan lebih indah jika hati kita dipertanyakan “ how do you feel? “ kemudian setelah merasakannya seketika itu pula hati kita dipertanyakan kembali “ you wanna touch it? “. Setelah kita bisa “ touch the ad “ pastilah kita akan diajak untuk “ touch the product “ atau urutan sebaliknya.

Dari pelajaran berharga itulah, saya selalu menghargai setiap orang gila yang saya temui. Orang gila yang selalu dijauhi orang ketika ia lewat, yang menjadi bahan tertawaan ataupun hal jijik lainnya. Dari sesuatu yang mungkin dianggap orang kebanyakan adalah hal yang aneh atau tak pantas untuk dilihat (seperti kebanyakan masyarakat kita yang terganggu oleh iklan ). Karenanya-lah saya ingin kita bersama-sama menyentuh mereka (konsumen), membuat iklan untuk menyentuh hatinya dan membuat mereka merasakannya (merasakan iklan dan produknya) , bukan hanya sekedar menangkap perhatiannya.

Selamat berkarya.

Terima Kasih Orang Gila