Tuesday, July 15, 2008

Jadi Aku...

Sewaktu bangun pagi, dimana pukul subuh telah terlewati aku terbangun dengan cukup tegak. Menatap pintu kamar mandi yang berukuran lebih tinggi sedikit dengan tinggi badanku.Lekas mengambil handuk putih dan mulai merasakan dinginnya air di ember merah muda yang terisi setengah penuh..

Byur…byur…byur

Wajah anugerah dan kaos hitam plus setelan jeans hitam sudah tegap berdiri didepan cermin berlis warna hitam.Tas kecil itupun tak luput diangkat segera, memulai menghadapi kerja untuk hari ini.Menuruni tangga yang telah berlapis karat dan membuka kunci pintu gerbang kayu dengan bertuliskan “solid”.

Sebenarnya dari jauh hawa pagi ini sudah tercium hangat, sinar-sinar matahari itu sudah mulai berkejar-kejaran ingin masuk di sela-sela jaketku, lubang telinga hingga jendela besar milik tetangga.

Setapak hingga berpuluh-puluh tapak di pijakkan, terdengar mulai dentuman palu dari pekerja kasar penuh keringat di atas genting, tukang sayur yang setia didatangi oleh ibu tua yang selalu ditemani oleh kucing gemuk abu-abu itu pun meramaikan hari itu.

Alhamdulillah..sedikit demi sedikit aku tasbihkan rasa syukur dari segalanya.Karena aku percaya itu akan mempermudah segalanya.

Mulai belok di jalan kedua, ku langkahi pagar pembatas komplek. Melewati scene favorit setiap pagi; segerombolan kucing yang sudah berbaris rapi didepan rumah ibu manis (sebut saja begitu, sesuai binatang-binatang manis yang ada di depan pagarnya)

Badan ini pun berbelok lagi untuk sekian kalinya.Kali ini mencoba melewati trotoar yang sedang. Dari kejauhan sudah terdengar suara bising roda tiga dengan bisa tua yang menyelimutinya, bajaj.

Tak jauh 20 meter dari situ, Toko Koh Ahong sudah terlihat begitu jelas. Masih ada tumpukan-tumpukan gallon tersusun dan voucher-voucher tergeletak di habitatnya masing-masing.

Kemudian memberanikan diri utk menyebrangi jalan besar pertama. Masih menggunakan trik lama berjalan bersebelahan dengan mobil yang ingin menyebrang juga. Tak luput pasti terdengar suara klakson dan emosi manusia kecil ditempat yang sama.

Mobil hitam-coklat itu pun aku pastikan sudah menungguku di halte biasanya, dengan kursi nomer 9 dari depan, aku pun sudah mulai merasakan hawa dingin AC kembali. Memasangkan earphone utk beberapa tembang menyambut pagi ini.

Dari dalam, aku melihat asap mengepul, roda berputar, dan tentunya merdunya lantunan nada di telinga. Playlist masing bertahan di posisi Phil Collins – Look Through My Eyes.

15 menit kurang berlalu, masih seperti biasanya. Jari telunjuk kanan aku letakkan sebagai bukti bahwa aku telah hadir kala itu. Menaiki 63 anak tangga warna merah, dan terlihat kembali kursi hitam itu. Secangkir gelas air putih seperti gelas warteg itu pun masih membisu kaku.

Hari ini harus rela melewati 8 jam bersama kursi hitam itu, harus rela “meniduri” beberapa layout ataupun hujatan revisi yang memekik telinga. Meskipun begitu, tetap saja ada cinta yang duduk setia disana. Memberikan semangat dan doa tanpa henti.

Aku tak rela helaan nafas menjadi keluhan, buang-buang energi saja.

Jam sudah menunjukkan pukul 2 siang. Kereta akhirat sudah berangkat dari pukul 12 tadi. Aku mungkin berada di kloter ke sekian, padahal aku membawa banyak doa hari itu.

Waktu yang bercucukan mili detik itupun tak akan mau berhenti, dan cukup tegas dan jelas memang bahwa jarum itu menunjukkan angka 5, pertanda seorang gadis berawakan sedang itu pasti akan kembali mendatangiku dengan lembaran kertas warna-warni. Disitu pun banyak bertuliskan angka-angka yang beraneka.

Tak ayal, aku pun mencoba memesan. Yang sesuai rasa lapar malam di hari Kamis. Kata kebanyakan orang, itu lembur namanya. Entah dari mana kata itu berasal, tak penting sih. Namun penting bagiku yang malam ini hanya ditemani oleh kotak elektronik yang tak memiliki panca indera.

Perut sudah terisi dan mulailah usus bekerja.Sedikit demi sedikit halaman sudah di save, sudah dicetak di bidang kertas putih yang akan masuk di mesin tinta kotak hitam.

Ting…ting…sebuah pesan singkat masuk begitu saja. Tertuliskan kata-kata penuh rindu dari seorang belahan jiwa disana, di deretan rumah jalan ekor kuning 3. Aku pun tak lupa melepaskan senyum. Baiklah, aku pulang.

Dibawah sudah menanti taksi burung biru dengan sopir berkumis tebal.

“ Pulo Asem Utara, pak “ kalimat itu sudah fasih di lafadzkan setiap pulangnya. Seperti ritual yang tak boleh terlewatkan.

Dari jendela mobil itu, aku melihat kilauan cahaya malam. Jakarta tak pernah sepi, seperti New York yang tak pernah tidur. Entah rasa apa malam itu, yang penting aku bisa segera merebahkan tubuh ringan ini ke kasur beralaskan seprai hijau muda.

Sebelum menutup mata ini, masuk kembali pesan singkat dari perempuan yang sama.
Berisikan kata penuh rindu yang mendalam. Begitupun aku, yang boleh dikatakan rasa lelah pun seakan hilang begitu saja, tak berbekas.

Alhamdulillah…Mari tidur kembali, Yakinlah bahwa ini bukan hanya mimpi.
Semoga Tuhan sudi mengijinkanku untuk membuka mata ini esok yang penuh misteri.